Olahraga
KTI membuat standar bayaran bagi tinju pro. Maksimal Rp 50 juta. Alasannya, untuk menyelamatkan dunia tinju pro. Menurut Anton Sihontang, ketentuan itu akan mematikan minat tinju. Pical menolak.
18 Januari 1986 | 00.00 WIB
Dengarkan artikel
Bagikan
Gabung Tempo Circle
Perbesar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASA untuk mendapatkan bayaran ratusan juta rupiah dari ring tinju tampaknya bakal berakhir. Dan hampir bisa dipastikan Ellyas Pical, juara tinju dunia versi IBF, akan menjadi petinju Indonesia terakhir yang menerima bayaran sekitar Rp 140 juta, untuk pertandingannya pada 15 Februari melawan Cesar Polanco dari Dominika dengan promotor Boy Bolang. lni gara-gara adanya pernyataan Komisi Tinju Indonesia (KTI) seperti yang dikemukakan Ketua Umum Solihin G.P. pekan silam, tentang standardisasi tarif bayaran untuk para petinju pro Indonesia. "Paling tinggi, seorang promotor, nanti, hanya diizinkan memberikan bayaran Rp 50 juta kepada petinju," kata Solihin. Itu pun menurut dia terbatas untuk pertandingan perebutan gelar dunia. Sedangkan untuk tingkat Asia Pasifik (OPBF) bayaran diperkirakan paling tinggi berkisar Rp 15 juta. Bagaimana dengan Pical yang sudah sempat menerima lebih dari jumlah itu? Solihin memastikan apa boleh buat juara dunia yang baru jadi jutawan itu juga harus menyesuaikan diri." Semua ketentuan ini, kata Sesdalopbang itu, dikeluarkan demi menunjang kelangsungan tinju profesional kita. Dan KTI akan melaksanakan dengan tegas ketentuan baru ini, bila sudah diberlakukan. Bekas Gubernur Jawa Barat yang sering dipanggil Mang Ihin itu belum merinci secara jelas kapan ketentuan baru itu akan dikeluarkan. Tapi, kepada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO Ketua KTI M. Anwar menyebutkan ancer-ancer: setelah pertandingan perebutan gelar Ellyas Pical. "Akhir Januari ini KTI akan rapat terakhir untuk membicarakan soal pembatasan tarif itu," kata Anwar. Dia menjelaskan latar belakang terbetiknya keinginan KTI untuk menetapkan ketentuan itu terutama karena ingin menyelamatkan dunia tinju pro itu sendiri." Selama ini karena tarif bayaran seorang petinju demiklan tinggi, tak satu pun penyelenggara (investor) pertandingan yang pernah untung," katanya. Dia menyebut contoh, antara lain, penyelenggara pertandingan Pical lawan Mulholland dan juga pertandingan Yani Hagler Dokolamo lawan juara dunia Dodie Penalosa. Tarif kedua petinju yang terakhir ini malah dinilai KTI tak wajar. Sebab, kendati juara dunia, bayaran tertinggi Dodie sebenarnya sekitar Rp 18 juta. Masak dibayar sampai Rp 80 juta dan Yani, yang baru pertama kali menantang juara dunia, langsung dibayar sekitar Rp 40 juta," ujar Anwar. Semua itu, katanya, selain tidak realistis, juga "tidak merakyat".Dan berakibat negatif: harga tiket masuknya jadi tinggi, karena biaya yang dikeluarkan penyelenggara juga tinggi. Padahal, "pertandingan tinju kan bukan hanya untuk orang berduit saja," tukas Solihin. NAMUN, benarkah semua akan bisa semudah seperti yang diharapkan KTI? Anton Sihotang, manajer Ellyas Pical, salah seorang yang meragukan perkiraaan KTI."Wah, pembatasan itu bisa mematikan rangsangan yang ada di dunia tinju," katanya kepada Gatot Triyanto dari TEMPO, Senin pekan ini. Dia malah agak cemas, ketentuan baru itu nanti malah jadi mematikan lagi minat para pemuda - yang memang harus diakui agak meningkat drastis, setelah Pical jadi juara dunia, 3 Mei tahun lalu - untuk menekuni secara serius karier sebagai petinju. Anton mengatakan, alasan KTI bahwa panitia pertandingan rugi dan tak mau menyelenggarakan pertandingan tinju tak begitu meyakinkan. Sebab, mengadakan pertandingan itu 'kan dagang. Kalau ndak rugi, ya, untung," ujarnya. Dia mengingatkan bahwa sebenarnya untuk mencetak calon Juara dunia juga diperlukan biaya yang tinggi. "Kalau dihargai murah, kapan petinju dan sasananya bisa untung," tukasnya. Dengan nada serius, ia mengharapkan KTI menimbang segala aspek sebelum mengeluarkan ketentuan baru itu. "Misalnya, apakah sudah diadakan riset pasar bahwa jika pembatasan itu dilakukan, panitia pertandingan akan untung dan petinju akan puas. Jika sudah sampai ke taraf itu, saya, sih, setuju saja" katanya. Bagaimana reaksi Pical ?" Beta nggak mau. Setelah Rp 125 juta, ya harus naik: Rp 150 atau Rp 200 juta," kata Pical sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Ini niscaya soal cukup pelik yang bakal dihadapi KTI, jika rencana tadi, jadi dilaksanakan. Lagi pula, soal untung rugi panitia penyelenggara, kenapa jadi urusan KTI, sih. MS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Edisi 1 Januari 2001
Cukup Rp 50 juta, Pical ?
Kembali lewat krama judhaKembali Lewat Krama YudhaPODCAST REKOMENDASI TEMPO
- Podcast Terkait
- Podcast Terbaru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artikel Terbaru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artikel Trending
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini